Kamis, 25 Juli 2013

Belajar dari Jorong Simancuang

Simancuang dengan petak-petak sawahnya

Jorong (desa) Simacuang yang terletak di kabupaten Solok Selatan, akhir-akhir ini kerap kali kedatangan pengunjung yang ingin belajar bagaimana kesadaran masyarakat setempat mengelola dan melindungan hutan secara arif dan konsistent dari tahun ketahun.

Sebenarnya, ini bukan kali pertama kujejakan kaki di Simancuang. Ini kunjungan kedua ku. Sebelumnya kunjungan ku mewakili Jambi bersama 10 provinsi pilot SATGAS REDD+ UKP4 berduskusi dengan masyrakat Simancuang tentang usaha-usaha apa saja yang telah mereka lakukan untuk melindungi dan memelihara hutan disekelilingnya. Namun kali ini kunjungan ku  untuk menfasilitasi korenspondent Mongabay yang ingin mendapatkan cerita langsung dilapangan apa dan bagaimana usaha itu dilakukan.

Perjalanan kami dimulai dari Padang pukul 15.30, seharusnya dari Padang ke Simancuang hanya memakan 3- 4 jam. Namun karena ada perbaikan jalan yang system buka tutup, maka tepat pukul 00.00 kami tiba di lokasi. Mobil yang kami tumpangi tidak bisa langsung parkir tempat dimana kami akan menginap. Maka kami harus berjalan menembus gelapnya malam untuk bisa mencapai lokasi. Iqbal sebagai guide lokal sempat kehilangan arah jalan, karna senter hp yang kami gunakan tidak mampu menembus gulitanya malam.

Perlahan-lahan kami menapakaki pematang sawah dengan cahaya seadanya. Sempitnya jalan tidak memungkinkan kami berjalan beriringan. Beberapa kali Iqbal mengingatkan untuk berhati-hati meniti sawah, karna sebagai fasilitator di Simancuang, dia sudah berpengalaman terjun bebas ke sawah bersama motor yang ditumpanginnya. Anehnya, padi tepat dimana Iqbal tercebur telah tumbuh subur dibanding petak padi yang lain. Ternyata bukan hanya Iqbal berpengalaman masuk sawah, baru-baru ini, salah seorang kelompok kunjungan belajar dari Desa Jeluti juga terjerembab di sawah pada malam hari dengan posisi kaki diatas. Walhasil, kepala dan mukanya berlepotan lumpur. Warga setempat sempat shock melihat sosoknya yang begelimang lumpur menyapa ditengah jalan, mungkin karna disangka hantu.

Seiring perjalanan kami yang semakin dengan dengan pemukiman penduduk, lantunan pengajian Al-qur’an mulai terdengar jelas. “Subhnallah.. jam segini masyarakat masih berkumpul dan membaca Al Qur’an di Masjid”, ucapku dalam hati. Singkat cerita kami sampai dengan selamat di Masjid. Sekitar 10 orang bapak-bapak menyambut kedatangan  kami dan kitapun berkenalan singkat. Tidak berapa lama kemudian tadarusan di masjidpun berakhit dan Pak Edison (mantan kepala jorong Simacuang) segera mengajak kami kerumah nya. Dalam perjalanan kerumahnya, anak kedua pak Edison pun masuk ke petak sawah, segera dia keluar dari kubangan dan langsung ke pancuran membersihkan tubuhnya. “Untung aku selamat tidak masuk kubangan sawah,” fikirku. Sesampai dirumah, istri pak Son menyambut kami dengan teh hangat buatannya. “Alhamdulillah sedappnya…,” teh hangat mengalir ke tenggorakan hingga ke perut ku yang menggigil kedinginan.

Tempat dimana kudengar lantunan ayat suci Al-Qur'an

Tidak lama kemudian, sekitar 5 orang Bapak-bapak bertamu ke rumah Pak Edison, mereka adalah bagian dari kelompok pengelolaa hutan nagari Simancung, antara lain sekretaris, bagian patroli dan anggota. Mbak Lili dari Mongabay segera mengambil catatan kecil nya dan mulai membuka percakapan.

“Bagaimana asal usul nagari Simancuang ini pak?..”

Salah seorang bapak itu menjawab (sayang.. saya tidak mencatat nama bapak tsb..)

“Dulunya bapak saya bersama 5 orang teman nya merantau kesini untuk mencari lahan untuk bertani, kemudian mereka mulai menetap hingga sekarang desa ini telah berkembang penduduknya. Saat ini dari 6 orang tersebut tinggal bapak saya yang hidup.”

Sambil mengepulkan asap rokonya, bapak tersebut menambahkan, “Sekitar tahun 1972 kami menemukan Jalan keluar untuk memasarkan hasil pertanian ini, nah sejak itulah keluarga yang tinggal disekitar Simancuang dan tetangga sebelah ikut menetap disini.”

 “Bagaimana masyarakat Simancuang memandang tentang penting nya hutan dilindungi dan dijaga? “

“Hutan adalah sumber penghidupan dan kehidupan bagi kami warga Simancuang, jika hutan disekeliling kami habis, kami pun bisa mati.”

“Loh mengapa begitu pak?” Lili mulai memancing percakapan lebih dalam.

“Coba ibu perhatikan desa kami ini,  topograpi Simancuang ibarat sebuat kuali raksasa, desa kami dikelilingi perbukitan dan berhutan sementara Simancuang terletak didasar kuali. Jika hutan sekeliling ini habis, maka kampung kami akan terkubbur  tertimbun longsor."

Sambil membenahi sarung nya bapak tersebut melanjutkan kalimatnya, 
"Hampir seluruh masyarakat disini berprofesi sebagai petani. Kami menamam padi dimana sumber pengairan sawah, air minum, penerangan berasal dari bukit-bukit dimana kondisi hutan nya harus terus dilindungi. Jika hutan diatas sana habis, maka generator PLTMH kami tidak jalan, disini akan gelap gulita, padi kami akan kering dan tidak ada sumber penghidupan disini."

Aku mengangguk-angguk tanda setuju. “Luar biasa masyarakat disini, pemahaman pentingnya hutan sudah katam diluar kepala…”

Tidak dapat dipungkiri, hutan terjaga maka keanekaragaman hayati didalam nya juga akan ikut terjaga. Kami juga melihat dengan jalas, kondisi hutan nagari di sekeliling Simancuang sangat terjaga. Udara yang kami hirup pun terasa segar bercampur aroma dedaunan dan suara kicauan burung dan ungko (hyblobatida) di pagi hari. Suara ini telah menjadi irama alam yang selalu dinikmati oleh masyarakat setiap harinya. Jika suara itu tidak terdengar, maka dianggap suatu kejanggalan,  pasti ada sesuatu yang akan terjadi, bisa jadi akan ada bencana atau memberikan pertanda bahwa aka ada yang meninggal di desa mereka.

Skema Hutan Nagari Semangat baru bagi masyrakat simancuang

Jauh sebelum ada skema Hutan Desa/ Hutan Nagari dikeluarkan oleh mentri kehutanan, sudah lama masyarakat di Simancuang ini ingin melegalisasikan wilayah lindung mereka. Mereka ingin wilayah kelola mereka diakui oleh pemerintah lokal dan pemerintah pusat. Sehingga tidak akan ada pemberian izin (perusahaan) diatas hutan yang telah mereka jaga. Fasilitasi KKI WARSI dalam memperkanalkan konsep PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasih masyarakat) memberi kekuatan  dan semangat baru bagi mayarakat untuk melanjutkan perjuangan mereka ke tinggal nasional untuk mendapatkan legalisasi dari pemerintah pusat. Hingga akhirnya Hutan Nagari Simacuang mendapat areal penetapan dari mentri kehutanan seluas 650 hektar.

Selanjutnya, beberapa praktek konservasi telah disusun secara sistematis dalam management plan RKHN (Rencana Kerja Hutan Nagari ) Simancung. Salah satu nya adalah pengembangan pagi organik. Untuk dapat diketahui Simancung terkenal dengan padi organiknya yang gurih, pulen dan sehat. Saat ini masyarakat Simancung sedang mencari pasar yang tepat dengan pengepakan yang menarik sehingga padi organik ini mampu bersaing dipasaran. Budaya penanaman padi organik ini telah dilakukan secara turun menurun, hal ini dikarenakan kondisi tanah yang subur sehingga tidak membutuhkan pupuk pabrik, cukup hanya pupuk buatan dari kotoran ternak. Selain itu kandungan belut sawah di dalam sawah akan mati jika terkena pupuk sintesis. Untuk diversifikasi income, penduduk setempat juga mengelola belut sawah dan mengembangkan kolam ikan hingga tanaman perkebunan lainnya seperti, kayu manis, karet, durian dll.

Larangan menebang pohon di hutan telah menjadi kesepakatan bersama antar desa. Telah disepakati akan mendenda siapa saja tanpa terkeculi yang menebang pohon di hutan.  Denda yang diberlakukan adalah 15 sak semen dan menaman 10 batang pohon baru. Untuk menjaga kesepakatan ini dijalankan secara konsitent, setiap 1 bulan sekali dilakukan patroli hutan untuk pengamanan hutan.

Dalam perjalanan melihat PLTMH di desa Simancuang, kami juga melihat beberapa siswa-siswi Sekolah dasar dan SMP juga berperan aktif dalam konservasi. Kami sempat terkejut melihat rombongan siswa membawa arit dan parang keluar dari kelas. Sempat berfikir adakah demonstrasi di sekolah, ahh... ternyata.. arit dan parang itu dipakai untuk mencari anakan pohon dan menanamnya di wilayah potensial untuk ditanam. Guru kelas pun tidak ketinggalan memantau kerjaan muridnya. "Luar biasa...".

Dalam perjalanan menelusuri hutan nagari Simancuang, Pak Edison menceritakan bahwa, saat ini telah ada wacana mewajibkan masyarakat nagari Simancuang untuk memanam 10 batang pohon berakar lebat di pinggiran sumber-sumber mata air supaya memjamin ketersediaan air mengalir ke PLTMH. Jika debet air berkurang, maka energi listrik yang dihasilkan juga akan berkurang. Dengan adanya program seperti ini pico micro hidro bisa dibangun di daerah-daerah yang arus airnya lebih sedikit agar bisa menerangi beberapa rumah disekitarnya. Saat ini 1 unit PLTMH hanya mampu menerangi sekitar 130 KK, sementara ada sekitar 60an KK yang belum menikmati listrik dari PLTMH ini.

Usaha keras yang dilakukan secara swadaya dan bertanggung jawab selama ini akhirnya mendapat sambuatan baik dari pemerintah kabupaten Solok Selatan. Baru-baru ini bupati solok selatan, Pak Muzni Zakari melakukan kunjungan lapangan dan berdialog langsung dengan masyarakat. Inti dari petemuan singkat itu adalah, pemerintah daerah mendukung dan mengapresiasi secara penuh praktik-praktik konservasi yang dilakukan oleh masyarakat. Oleh karena itu pemerintah menawarkan program-program strategis yang dibutuhkan oleh nagari simancuang. Bahkan, ada wacana dari Pak Bupati untuk mengusulkan sisa hutan lindung yang ada di Simancuang untuk menjadikan nya Hutan Nagari. “Siap pak..!” Masyarakat menyambut dengan senang.

                                
Kunjungan Bapak Bupati Solok Selatan, 24 Juni 2013

Tidak ada komentar: