Jorong (desa) Simacuang
yang terletak di kabupaten Solok Selatan, akhir-akhir ini kerap kali kedatangan
pengunjung yang ingin belajar bagaimana kesadaran masyarakat setempat mengelola
dan melindungan hutan secara arif dan konsistent dari tahun ketahun.
Sebenarnya, ini bukan
kali pertama kujejakan kaki di Simancuang. Ini kunjungan kedua ku. Sebelumnya
kunjungan ku mewakili Jambi bersama 10 provinsi pilot SATGAS REDD+ UKP4
berduskusi dengan masyrakat Simancuang tentang usaha-usaha apa saja yang telah
mereka lakukan untuk melindungi dan memelihara hutan disekelilingnya. Namun kali
ini kunjungan ku untuk menfasilitasi
korenspondent Mongabay yang ingin mendapatkan cerita langsung dilapangan apa
dan bagaimana usaha itu dilakukan.
Perjalanan kami dimulai
dari Padang pukul 15.30, seharusnya dari Padang ke Simancuang hanya memakan 3-
4 jam. Namun karena ada perbaikan jalan yang system buka tutup, maka tepat
pukul 00.00 kami tiba di lokasi. Mobil yang kami tumpangi tidak bisa langsung parkir
tempat dimana kami akan menginap. Maka kami harus berjalan menembus gelapnya malam untuk bisa mencapai
lokasi. Iqbal sebagai guide lokal sempat kehilangan arah jalan, karna senter hp
yang kami gunakan tidak mampu menembus gulitanya malam.
Perlahan-lahan kami menapakaki pematang sawah dengan cahaya seadanya. Sempitnya jalan tidak memungkinkan kami berjalan beriringan. Beberapa kali Iqbal mengingatkan untuk berhati-hati meniti sawah, karna sebagai fasilitator di Simancuang, dia sudah berpengalaman terjun bebas ke sawah bersama motor yang ditumpanginnya. Anehnya, padi tepat dimana Iqbal tercebur telah tumbuh subur dibanding petak padi yang lain. Ternyata bukan hanya Iqbal berpengalaman masuk sawah, baru-baru ini, salah seorang kelompok kunjungan belajar dari Desa Jeluti juga terjerembab di sawah pada malam hari dengan posisi kaki diatas. Walhasil, kepala dan mukanya berlepotan lumpur. Warga setempat sempat shock melihat sosoknya yang begelimang lumpur menyapa ditengah jalan, mungkin karna disangka hantu.
Seiring perjalanan
kami yang semakin dengan dengan pemukiman penduduk, lantunan pengajian
Al-qur’an mulai terdengar jelas. “Subhnallah.. jam segini masyarakat masih berkumpul
dan membaca Al Qur’an di Masjid”, ucapku dalam hati. Singkat cerita kami sampai
dengan selamat di Masjid. Sekitar 10 orang bapak-bapak menyambut
kedatangan kami dan kitapun berkenalan
singkat. Tidak berapa lama kemudian tadarusan di masjidpun berakhit dan Pak
Edison (mantan kepala jorong Simacuang) segera mengajak kami kerumah nya. Dalam
perjalanan kerumahnya, anak kedua pak Edison pun masuk ke petak sawah, segera
dia keluar dari kubangan dan langsung ke pancuran membersihkan tubuhnya. “Untung
aku selamat tidak masuk kubangan sawah,” fikirku. Sesampai dirumah, istri pak
Son menyambut kami dengan teh hangat buatannya. “Alhamdulillah sedappnya…,” teh
hangat mengalir ke tenggorakan hingga ke perut ku yang menggigil kedinginan.
Tidak lama kemudian,
sekitar 5 orang Bapak-bapak bertamu ke rumah Pak Edison, mereka adalah bagian
dari kelompok pengelolaa hutan nagari Simancung, antara lain sekretaris, bagian
patroli dan anggota. Mbak Lili dari Mongabay segera mengambil catatan kecil nya
dan mulai membuka percakapan.
“Bagaimana asal usul
nagari Simancuang ini pak?..”
Salah seorang bapak
itu menjawab (sayang.. saya tidak mencatat nama bapak tsb..)
“Dulunya bapak saya
bersama 5 orang teman nya merantau kesini untuk mencari lahan untuk bertani,
kemudian mereka mulai menetap hingga sekarang desa ini telah berkembang
penduduknya. Saat ini dari 6 orang tersebut tinggal bapak saya yang hidup.”
Sambil mengepulkan
asap rokonya, bapak tersebut menambahkan, “Sekitar tahun 1972 kami menemukan Jalan
keluar untuk memasarkan hasil pertanian ini, nah sejak itulah keluarga yang
tinggal disekitar Simancuang dan tetangga sebelah ikut menetap disini.”
“Bagaimana masyarakat Simancuang memandang tentang penting nya
hutan dilindungi dan dijaga? “
“Hutan adalah sumber
penghidupan dan kehidupan bagi kami warga Simancuang, jika hutan disekeliling
kami habis, kami pun bisa mati.”
“Loh mengapa begitu
pak?” Lili mulai memancing percakapan lebih dalam.
“Coba ibu perhatikan desa kami ini, topograpi Simancuang ibarat
sebuat kuali raksasa, desa kami dikelilingi perbukitan dan berhutan sementara Simancuang terletak didasar kuali. Jika hutan sekeliling ini habis, maka kampung kami akan terkubbur tertimbun longsor."
Sambil membenahi sarung nya bapak tersebut melanjutkan kalimatnya,
"Hampir seluruh masyarakat disini berprofesi sebagai petani. Kami menamam
padi dimana sumber pengairan sawah, air minum, penerangan berasal dari bukit-bukit
dimana kondisi hutan nya harus terus dilindungi. Jika hutan diatas sana habis,
maka generator PLTMH kami tidak jalan, disini akan gelap gulita, padi kami akan
kering dan tidak ada sumber penghidupan disini."
Aku mengangguk-angguk
tanda setuju. “Luar biasa masyarakat disini, pemahaman pentingnya hutan sudah
katam diluar kepala…”
Tidak dapat dipungkiri,
hutan terjaga maka keanekaragaman hayati didalam nya juga akan ikut terjaga. Kami
juga melihat dengan jalas, kondisi hutan nagari di sekeliling Simancuang sangat terjaga. Udara yang kami hirup pun terasa segar bercampur aroma dedaunan dan suara kicauan
burung dan ungko (hyblobatida) di pagi hari. Suara ini telah menjadi irama alam
yang selalu dinikmati oleh masyarakat setiap harinya. Jika suara itu tidak
terdengar, maka dianggap suatu kejanggalan, pasti ada sesuatu yang akan terjadi, bisa jadi
akan ada bencana atau memberikan pertanda bahwa aka ada yang meninggal di desa
mereka.
Skema Hutan Nagari Semangat baru bagi masyrakat
simancuang
Jauh sebelum ada
skema Hutan Desa/ Hutan Nagari dikeluarkan oleh mentri kehutanan, sudah lama masyarakat di Simancuang ini ingin
melegalisasikan wilayah lindung mereka. Mereka ingin wilayah kelola mereka diakui
oleh pemerintah lokal dan pemerintah pusat. Sehingga tidak akan ada pemberian
izin (perusahaan) diatas hutan yang telah mereka jaga. Fasilitasi KKI WARSI dalam
memperkanalkan konsep PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasih masyarakat) memberi
kekuatan dan semangat baru bagi
mayarakat untuk melanjutkan perjuangan mereka ke tinggal nasional untuk mendapatkan
legalisasi dari pemerintah pusat. Hingga akhirnya Hutan Nagari Simacuang
mendapat areal penetapan dari mentri kehutanan seluas 650 hektar.
Selanjutnya, beberapa
praktek konservasi telah disusun secara sistematis dalam management plan RKHN (Rencana Kerja Hutan Nagari ) Simancung. Salah satu nya adalah pengembangan pagi organik. Untuk dapat
diketahui Simancung terkenal dengan padi organiknya yang gurih, pulen dan
sehat. Saat ini masyarakat Simancung sedang mencari pasar yang tepat dengan
pengepakan yang menarik sehingga padi organik ini mampu bersaing dipasaran. Budaya
penanaman padi organik ini telah dilakukan secara turun menurun, hal ini
dikarenakan kondisi tanah yang subur sehingga tidak membutuhkan pupuk pabrik,
cukup hanya pupuk buatan dari kotoran ternak. Selain itu kandungan belut sawah
di dalam sawah akan mati jika terkena pupuk sintesis. Untuk diversifikasi income, penduduk setempat juga mengelola
belut sawah dan mengembangkan kolam ikan hingga tanaman perkebunan lainnya
seperti, kayu manis, karet, durian dll.
Larangan menebang
pohon di hutan telah menjadi kesepakatan bersama antar desa. Telah disepakati
akan mendenda siapa saja tanpa terkeculi yang menebang pohon di hutan. Denda yang diberlakukan adalah 15 sak semen
dan menaman 10 batang pohon baru. Untuk menjaga kesepakatan ini dijalankan
secara konsitent, setiap 1 bulan sekali dilakukan patroli hutan untuk
pengamanan hutan.
Dalam perjalanan
melihat PLTMH di desa Simancuang, kami juga melihat beberapa siswa-siswi Sekolah dasar dan SMP juga berperan aktif dalam konservasi. Kami sempat
terkejut melihat rombongan siswa membawa arit dan parang keluar dari kelas.
Sempat berfikir adakah demonstrasi di sekolah, ahh... ternyata.. arit dan
parang itu dipakai untuk mencari anakan pohon dan menanamnya di wilayah potensial
untuk ditanam. Guru kelas pun tidak ketinggalan memantau kerjaan muridnya. "Luar
biasa...".
Dalam perjalanan
menelusuri hutan nagari Simancuang, Pak Edison menceritakan bahwa, saat ini
telah ada wacana mewajibkan masyarakat nagari Simancuang untuk memanam 10 batang
pohon berakar lebat di pinggiran sumber-sumber mata air supaya memjamin ketersediaan
air mengalir ke PLTMH. Jika debet air berkurang, maka energi listrik yang dihasilkan juga
akan berkurang. Dengan adanya program seperti ini pico micro hidro bisa
dibangun di daerah-daerah yang arus airnya lebih sedikit agar bisa menerangi
beberapa rumah disekitarnya. Saat ini 1 unit PLTMH hanya mampu menerangi sekitar
130 KK, sementara ada sekitar 60an KK yang belum menikmati listrik dari PLTMH
ini.
Usaha keras yang
dilakukan secara swadaya dan bertanggung jawab selama ini akhirnya mendapat sambuatan
baik dari pemerintah kabupaten Solok Selatan. Baru-baru ini bupati solok
selatan, Pak Muzni Zakari melakukan kunjungan lapangan dan berdialog langsung dengan
masyarakat. Inti dari petemuan singkat itu adalah, pemerintah daerah mendukung
dan mengapresiasi secara penuh praktik-praktik konservasi yang dilakukan oleh
masyarakat. Oleh karena itu pemerintah menawarkan program-program strategis
yang dibutuhkan oleh nagari simancuang. Bahkan, ada wacana dari Pak Bupati untuk
mengusulkan sisa hutan lindung yang ada di Simancuang untuk menjadikan nya
Hutan Nagari. “Siap pak..!” Masyarakat menyambut dengan senang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar