Aku berdiri bersama
wali murid lainnya di halaman sekolah tersenyum bangga melihat anak ku “Keisha”
yang meraih peringkat ke-2 pada penerimaan raport semester ganjil ini.
Sebenarnya aku tidak begitu perduli rangking berapa yang dia dapatkan, selama
dia menikmati proses belajar disekolah. Sehingga pada akhirnya akan berdampak
pada tingkat pemahamannya dan nilai yang ditoreh pada raport semester.
Aku jadi ingat
masa kecil ku ketika duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Menerima lapor adalah
momok yang paling menakutkan bagiku. Sebenarnya dulu sih biasa saja. Namun
ketika orang tua ku mengadopsi sistem “hukuman” untuk angka raport yang “merah”. Aku menjadi paranoid ketakutan.
Bagaimana tidak, untuk catur wulan (cawu) pertama, jika merah 1 orang tua ku
akan menghadiahkan pukulan 10 kali. Boleh dipilih di tangan atau dikaki. Alat
pukulnya pun bervariasi, tergantung apa yang tersedia disana, bisa ikat
pinggang, rotan, atau sapu lidi. Cawu ke-2 jumlah pukulan pun ditingkatkan
menjadi 15 kali per mata pelajaran yang tertulis tinta merah, dan yang paling
ekstrem adalalah cawu ke-3 pukulan jadi meningkat menjadi 25 kali...!!
Diantara 4 bersaudara,
daya tangkap ku tergolong yang paling lemah. Sudah berapa kali orang tua ku
mencoba menyemangatiku untuk belajar yang tekun. Tak jarang dia memberi contoh
untuk seperti kakak ku yang selalu mendapat peringkat 3 besar di sekolah, atau
seperti adik ku yang sudah bisa membaca di kelas 1, sementara aku belum
merasa klik dengan apa yang kupelajari disekolah. Masa-masa penerimaan lapor
pun tiba. Aku pulang menyembunyikan lapor ke bawah sudut rak pakaian yang
paling dalam, untuk memastikan orang tua ku tidak akan membaca hasil akhirku.
Jelas saja prakiraan ku salah, semua orang tahu, bahwa tanggal tersebut adalah
tanggal penerimaan lapor. Malam ini setelah sholat magrib Bapak memanggil kami
berempat.