Sudah beberapa kali saya ke Jakarta, namun belum pernah saya rasakan
kejam nya ibu kota sebagai mana yang diceritakan dari mulut-kemulut. Jika
tinggal di Jakarta membuat kita “Tua di Jalan”, memang tidak disangkal lagi.
Bayang kan saja tiap sudut kota Jakarta tidak pernah terbebas dari kemacetan. Butuh
waktu lama untuk menuju satu tempat. Bahkan jalur TOL sebagai jalan eksklusif
tidak luput dari kemacetan, padahal tiap kendaraan yang masuk kesana
dikenakan bayaran. Yang pasti hanya jalur udara saja yang bebas dari kebisingan
kendaraan. Hal ini dikarenakan ibu kota nan dibanggakan ini sudah sangat sesak
penduduk dan kendaraan.
Bicara tentang kendaraan, biasanya untuk mencari aman aku selalu
menggunakan taxi menuju tempat pertemuan. Aman tidak perlu menunggu lama dan
berdesak-desakan. Plus tempat duduk yang nyaman sambil melihat lalu-lalang kota
Jakarta dari jendela kaca. Kali ini pesawat yang kutumpangi dari Jambi
mengalami keterlambatan mendarat. Singkat
cerita pesawat yang di jadwalkan landing di Jakarta pukul 19.30 jadi molor menjadi
pukul 21.00 WIB. Kalau di kota Jambi, jam segitu cukup menggelisahkan untuk
keluar, karna angkutan umum sudah beristirahat di garasinya masing-masing.
Hanya ojek yang bisa dimanfaatkan, tapi harus hati-hati dalam pemilihan ojek.
Kalau lagi apes, kita bisa menjadi target perampokan.
Ketika keluar dari bandara, kota Jakarta baru selesai di guyur hujan lebat.
Dapat kulihat dari genangan air di trotoar dan angin malam yang lembab benerpa
wajahku. Situasi bandara Cengkareng, tidak ada matinya, masih banyak kulihat
orang menawarkan taxi kepadaku, dan sebagian penumpang yang menunggu di kursi
tunggu menunggu jemputan. Perlahan ku seret travel bag ku dan menuju ke
terminal Damri.