Senin, 18 Maret 2013

"Ma, belikan aku mainan ya...."


Ibu-ibu yang memiliki anak kecil, pasti merasakan apa yang kurasakan sekarang. Ibu mana yang tidak tergugah hatinya ketika si kecil merengek minta dibelikan mainan, sehingga anggaran bulanan untuk membeli kebutuhan pribadi si ibu pun rela dikorbankan demi melihat di kecil tersenyum. Anak ku Rayhan sering sekali minta dibelikan mainan. Mulai dari mainan Angry birds, mobil-mobilan Pixar, pistol-pistol an, puzzle, leggo dan lain sebagainya. 

Sebenarnya, aku tidak akan komplain jikan mainan itu bisa bertahan lama sehingga  tidak mengganggu anggaran belanja dirumah. Yang membuatku sedikit ngedumel adalah mainan yang dibelikan itu umurnya sangat singkat, bahkan cuma beberapa jam. Seperti mobil-mobilan remote yang baru dibeli tadi malam, 3 jam kemudian  sudah mogok tanpa daya.
Segera Rayhan minta pertolongan papanya yang dipercayai satu-satunya montir terbaik di rumah. Setelah berkutat berjam-jamnya akhirnya mobil itu sukses tidak bernyawa, alias mati total. Menurut papa Rayhan, skrup dalam timah yang menghubungi satu kabel dengan kabel lain sangat longgar dan mudah sekali putus, sehingga ketika satu element sudah goyang akan mempengaruhi bagian lain. Belum lagi kwalitas plastik yang sangat buruk, baru dibuka sekali, engselnya sudah patah.


Mainan Rayhan yang telah terbelah-belah


Tidak diragukan lagi, kwalitas mainan yang beredar di pasaran dikondisikan untuk cepat rusak, sehingga persediaan terus berganti seiring dengan tingginya permintaan barang-barang baru. Secara harga, memang tidak begitu mahal per unit mainan, namun kalau dalam sebulan bisa mengganti 4 kali mainan, waduh…! Bisa dibayangkan harga mobil-mobilan 1 unit minimal 25.000  dikali 4 bisa sekitar 100 ribu. Angka ini akan bertambah secara drastis, jika si anak tidak bisa menjaga barang mainannya. Sering kali, mainan yang dibelikan untuk anak ku Rayhan berganti fungsi. Misalnya mainan tokoh Angry Bird yang seharusnya hanya untuk dipegang-pegangnya, kemudian di lempar kan ke dinding, sambil terdengar suara teriakan  “Super Hanua...Nguiikk....!!..” dari mulut Rayhan. Seperkian detik kemudian Angry Bird berwarna merah itu sudah terbelah dua di lantai. “Dek kenapa dilempar ke dinding.? Tuh mainan nya rusak kan?” teriak ku. “Rayhan lempar babi bonyok Ma...” jawab Rayhan polos, tanpa menyadari kesalahanya. Aku cuma bisa garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Yah.. Rayhan tidak sepenuhnya salah, karena mainan angry bird memang cara bermainanya dilemparkan ke arah kepala babi berwarna hijau yang tersusun rapi di rak kayu atau pun tumbukan es. Namun karena tidak ditemukan nya partner angry bird dalam kotak pembelian nya, akhirnya tembok berwarna hijau di rumah ku dijadikan sasaran target babi bonyok (sebutan khusus Rayhan).


Tumpukan mainan rusak

Jika dibanding masa kecilku dulu hal ini berbanding terbalik. Aku tidak pernah punya mainan yang dibeli oleh orang tuaku. Bagaimana mau dibelikan mainan, untuk bisa makan sehari-hari dan sekolah saja sudah syukur. Kondisi keluarga dengan 6 orang anak membuat kami sangat menyadari membeli mainan bukan hal prioritas. Sementara, dilingkungan tetanggaku, anak-anak yang memiliki mainan tergolong keluarga yang tingkat ekonominya sejahtera. Untungnya saat itu, kami tidak merasa miskin karena tidak memiliki mainan. Di masa kecilku, anak-anak sangat kreatif membuat mainannya sendiri, tidak  instan seperti sekarang semuanya tersedia di toko. Kreatifitas anak-anak dimasaku patut diancungkan jempol, kami merancang, memotong, menggunting, menggergaji bahkan mengecat mainan kami sendiri Ada banyak sekali hal-hal disekitar rumah bisa dijadikan mainan. Pada musim layangan, puluhan layangan buah karya anak-anak disekitar rumahku, menari-nari dengan ukuran, warna dan corak menarik. Musim senapan, merupakan ancaman baru bagi tetangga yang menanam pisang dihalaman rumahnya, karna bahan utama senapan adalah pelepah pisang. Bahkan sendal “Jepang” bekas, sejenis sendal jepit berbahan karet, dalam beberapa menit bisa disulap menjadi mobil-mobilan. Putik jambu air menjadi target empuk untuk dijadikan peluru pistol-pistolan, jika ditembakkan ke lawan lumayan sakit, tapi tidak membahayakan dibanding pistol-pistol yang dibeli di toko-toko sekarang, yang mengakibatkan pendarahan bahkan kebutaan.

Selain membuat mainan sendiri, mainan pun dimainkan bersama-sama. "Ya iya lah mana enak main sendiri..". Untuk anak perempuan, permaian lompat tali, masak-masakan adalah hal yang sangat digemari dimainkan sepulang sekolah. Anak yang mampu membeli mainan pun biasanya selalu memanggil teman-temannya untuk bermain bersama. Hal ini  sangat terbalik dengan kondisi sekarang. Anak-anak bermain sendiri dibalik pagar rumahnya yang tinggi. Bermain diluar dianggap kotor, tidak steril dan bisa mengakibatkan sakit. Padahal anak-anak butuh sosilisasi dan berbagi dengan teman-teman sebayanya. Untuk menghindari Pertengkaran antar anak juga menjadikan alasan mengapa anak-anak dikurung dan bermain sendiri di rumahnya. Padahal pertengkaran ala anak-anak kan lumrah. Yang tidak lumrah adalah ketika pertengkaran antar anak-anak justru memicu pertengkaran antar orang tua. Padahal keesokan harinya mereka sudah akur dan bermain bersama, Eh..si Ibu masih memasang wajah sengit satu sama lain. Ammppyuuunnn dah...!

Perubahan paradigma dari mainan ke buku. 

Tidak dapat dipungkiri, membeli mainan pada zaman sekarang merupakan kebutuhan. Membuat mainan sendiri tidak trendy. Anak-anak mulai saling memamerkan mainan yang dibeli nya di toko, dengan berbagai macam model dan corak.  Permainan bersama pun sudah mulai jarang dilakukan. Anak cedrung bersikap individualistik dan enggan berbagi dengan teman sebaya.  Disisi lain, orang tua pun lebih nyaman membiarkan anak-anak bermain dirumah. Menurut mereka anak yang bermain dirumah mudah di pantau dan tentu saja tidak akan mengakibatkan pertengkaran. Agak sedikit aneh memang, tapi itulah fenomena jaman sekarang.

Namun aku sedikit lega, karna anak ku yang pertama Keisha yang berumur 9 tahun perlahan-lahan  tidak membutuhkan mainan lagi. Sejak kuperkenalkan buku bacaan kepadanya 3 bulan yang lalu, dia lebih suka dibelikan buku dibanding mainan. Terinspirasi dari pengalaman masa kecilku yang banyak bermain dan jarang membaca, membuat pengetahuan ku pun terbatas. Aku ingin anak ku punya kebiasaan membaca, dan hal ini harus dimulai dari sekarang. Sebulan sekali, kusisih kan sejumlah gaji ku untuk membeli buku buat Keisha. Hal ini menjadikan keasikan buat anakku untuk memilih buku bacaanya sendiri.  Yah.. toko buku, menjadi rekreasi baru di akhir bulan. Kemudian, Keisha juga kuajarkan menyisihkan sedikit uang jajan untuk membeli buku nya sendiri. Alhamdulillah bulan ini dia membeli 2 buku dari uang jajannya sendiri.  Hal ini berdampak positif, Keisha sangat menjaga bukunya dan menyimpan di tempat nya khusus. Semoga di usianya beranjak besar, Rayhan bisa menyusul sikap positif kakaknya.