Ibu-ibu yang memiliki anak kecil, pasti merasakan apa yang kurasakan sekarang. Ibu mana yang tidak tergugah hatinya ketika si kecil merengek minta dibelikan mainan, sehingga anggaran bulanan untuk membeli kebutuhan pribadi si ibu pun rela dikorbankan demi melihat di kecil tersenyum. Anak ku Rayhan sering sekali minta dibelikan mainan. Mulai dari mainan Angry birds, mobil-mobilan Pixar, pistol-pistol an, puzzle, leggo dan lain sebagainya.
Sebenarnya, aku tidak akan komplain jikan mainan itu bisa bertahan lama sehingga tidak mengganggu anggaran belanja dirumah. Yang membuatku sedikit ngedumel adalah mainan yang dibelikan itu umurnya sangat singkat, bahkan cuma beberapa jam. Seperti mobil-mobilan remote yang baru dibeli tadi malam, 3 jam kemudian sudah mogok tanpa daya.
Segera Rayhan minta pertolongan papanya yang dipercayai satu-satunya montir terbaik di rumah. Setelah berkutat berjam-jamnya akhirnya mobil itu sukses tidak bernyawa, alias mati total. Menurut papa Rayhan, skrup dalam timah yang menghubungi satu kabel dengan kabel lain sangat longgar dan mudah sekali putus, sehingga ketika satu element sudah goyang akan mempengaruhi bagian lain. Belum lagi kwalitas plastik yang sangat buruk, baru dibuka sekali, engselnya sudah patah.
Mainan Rayhan yang telah terbelah-belah |
Tumpukan mainan rusak |
Jika dibanding masa kecilku dulu hal ini berbanding terbalik. Aku tidak pernah punya mainan yang dibeli oleh orang tuaku. Bagaimana mau dibelikan mainan, untuk bisa makan sehari-hari dan sekolah saja sudah syukur. Kondisi keluarga dengan 6 orang anak membuat kami sangat menyadari membeli mainan bukan hal prioritas. Sementara, dilingkungan tetanggaku, anak-anak yang memiliki mainan tergolong keluarga yang tingkat ekonominya sejahtera. Untungnya saat itu, kami tidak merasa miskin karena tidak memiliki mainan. Di masa kecilku, anak-anak sangat kreatif membuat mainannya sendiri, tidak instan seperti sekarang semuanya tersedia di toko. Kreatifitas anak-anak dimasaku patut diancungkan jempol, kami merancang, memotong, menggunting, menggergaji bahkan mengecat mainan kami sendiri Ada banyak sekali hal-hal disekitar rumah bisa dijadikan mainan. Pada musim layangan, puluhan layangan buah karya anak-anak disekitar rumahku, menari-nari dengan ukuran, warna dan corak menarik. Musim senapan, merupakan ancaman baru bagi tetangga yang menanam pisang dihalaman rumahnya, karna bahan utama senapan adalah pelepah pisang. Bahkan sendal “Jepang” bekas, sejenis sendal jepit berbahan karet, dalam beberapa menit bisa disulap menjadi mobil-mobilan. Putik jambu air menjadi target empuk untuk dijadikan peluru pistol-pistolan, jika ditembakkan ke lawan lumayan sakit, tapi tidak membahayakan dibanding pistol-pistol yang dibeli di toko-toko sekarang, yang mengakibatkan pendarahan bahkan kebutaan.
Perubahan paradigma dari mainan ke buku.
Namun aku sedikit lega, karna anak ku yang pertama Keisha yang berumur 9 tahun perlahan-lahan tidak membutuhkan mainan lagi. Sejak kuperkenalkan buku bacaan kepadanya 3 bulan yang lalu, dia lebih suka dibelikan buku dibanding mainan. Terinspirasi dari pengalaman masa kecilku yang banyak bermain dan jarang membaca, membuat pengetahuan ku pun terbatas. Aku ingin anak ku punya kebiasaan membaca, dan hal ini harus dimulai dari sekarang. Sebulan sekali, kusisih kan sejumlah gaji ku untuk membeli buku buat Keisha. Hal ini menjadikan keasikan buat anakku untuk memilih buku bacaanya sendiri. Yah.. toko buku, menjadi rekreasi baru di akhir bulan. Kemudian, Keisha juga kuajarkan menyisihkan sedikit uang jajan untuk membeli buku nya sendiri. Alhamdulillah bulan ini dia membeli 2 buku dari uang jajannya sendiri. Hal ini berdampak positif, Keisha sangat menjaga bukunya dan menyimpan di tempat nya khusus. Semoga di usianya beranjak besar, Rayhan bisa menyusul sikap positif kakaknya.
1 komentar:
tes
Posting Komentar