Pengelolaan
hutan berbasis masyarakat merupakan
terobosan inisiatif perberdayaan masyarakat yang dikemukakan sejak
diselenggarakanya Kongres Kehutanan Dunia VIII di Jakarta (1978) dengan tema Forest for People. Model ini dipandang sebagai alternatif
strategis dalam upaya pengentasan berbagai masalah kehutanan seperti kemiskinan
masyarakat di sekitar hutan, kerusakan sumber daya hutan dan meredam konflik
tenurial. Ada tiga model yang dikembangkan pada konsep pengelolaan hutan
berbasis masyarakat, yakni Hutan kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD) dan
Hutan Tanaman Rakyat(HTR). Perkemabangan Hutan Desa dibeberapa provinsi di
Indonesia sudah mulai menggeliat tumbuh. Hutan desa adalah hutan hutan lindung
dan hutan produksi yang belum dibebani hak pengelolaan atau izin pemanfaatan
yang berada dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan.
Berdasarkan
Rencana Strategis (Renstra) Kemenhut 2010- 2014, strategi dan pembangunan
kehutanan nasioanal diarahkan kepada hutan lestari untuk kesejahteraan
masyarakat yang berkeadilan. Guna mewujudkan visi tersebut maka Menteri
Kehutanan Republik Indonesia, Zilkifli Hasan mengungkapkan akan menfasilitasi
pengelolaan dan penetapan areal kerja hutan desa seluar 500.000 ha. Dengan capaian target yang besar ini diharapkan bisa
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Artinya dengan
mengelola hutan diharapkan ada kesempatan masyarakat untuk mencari nafkah,
bekerja menanam dan mengelola hutan sehingga tujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan kelestarian hutan dapat bersinergis. Inisiatif peningkatan areal kerja Pengelolaan
Hutan Berbasiskan Masyarakat (PHBM) ini sekaligus sinergis dengan upaya
penurunan tingkat deforestasi dan degradasi hutan guna mencapai target reduksi
emisi 26% dan 41%.
Sejauh ini, target 500,000 hektare Hutan Desa belum
pernah mencapai target. Data Kementerian Kehutanan yang telah diolah oleh
kemitraan menyebutkan bahwa sampai dengan tahun 2010, luasan calon areal HD
yang telah diverifikasi baru mencapai
119.757 ha. Sementara areal HD yang sudah
ditetapkan oleh mentri kehutanan baru 14.346 ha. Rendahnya target capaian ini
tidak terlepas dari faktor birokrasi pengajuan izin yang menghadapi jalan
panjang dan berliku juga minimnya fasilitas teknis dari pemerintah daerah.
Birokrasi
panjang dan melelahkan.
Target
capaian PHBM Kemenhut masih bersifat sektoral dimana BP DAS menjadi leading sector untuk memenuhi capaian
ini. Bagaimanapun juga, target perhutanan sosial tidak diiringi dengan kesiapan
perangkat dan institusi pemerintah daerah, provinsi dan nasional, serta
dukungan keuangan antar SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) terkait dan
pemberdayaan personil pemerintah dan masyarakat.
Hal
senada juga diungkapkan oleh lembaga non pemerintahan penggiat Hutan Desa di
berbagai provinsi di Indonesia yang mengeluhkan mulai dari survey, riset,
hingga lokakarya desa semuanya dilakukan bersama-sama masyarakat setempat,
tanpa ada fasilitas dari pemerintah daerah. Kasus perkembangan
HD di Provinsi Jambi menghadapi hal serupa,
dikatakan sejumlah 25 desa yang
telah mendapatkan SK RKHD (Areal kerja hutan desa) dari Kemenhut tersebar 3
kabupaten seluas 54.987 hektare adalah
atas inisiasi LSM lokal. Ditambahkan
lagi, proses pengajuan dari awal hingga mendapatkan SK RKHD dari Kemenhut
melalui proses yang panjang hingga mencapai 2 tahun. Pengusulan berkas HD di
tingkat Nasional juga mengalami polemik yang tidak kalah sengitnya.
Diperkirakan proses usulan di tingkat nasional harus melalui 23 meja. Laporan
kemitraan menjelaskan bahwa jika perjalanan berkas pengajuan HD berjalan
normal, maka proses penetapan paling cepat 180 hari itupun karena ada hal-hal
khusus, misalnya peluncuran program HD (kasus HD Lubuk Beringin) dan paling
lama 1080 hari (kasus di Merangin, Jambi). Proses tidak hanya berhenti sampai
di mendapat SK dari kementrian, 24 hutan desa di Jambi masih menunggu kepastian
dari gubernur untuk mendapatkan SK HPHD (Hak Pengelolaan Hutan Desa). Sangat
ironis memang, apa yang ditargetkan dalam pelaksanaanya masih jauh panggang dari api.
Pengalaman dalam menginisiasi pengusulan HD dari
beberapa provinsi mengemukakan bahwa Target perhutanan sosial dari Kemenhut
tidak diikuti dengan persiapan perangkat dan institusi pemerintah di daerah. Lemahnya
koordinasi dan pemahaman konsep hutan desa dikalangan pemerintah daerah
mengakibatkan jalur proses usulan HD harus memewati beberapa meja. Berdasarkan
alur proses pengusulan areal hutan desa, berkas pengajuan harus lah
dikoordinasi melalui Dinas Kehutanan kabupaten dan provinsi, selanjutnya
dilayangkan ke Bupati, Bupati mendelegasikan ke Asisten II dan dilimpahkan ke
Biro Hukum Sumber Daya Alam (SDA). Oleh biro hukum, berkas dikembalikan ke Dinas Kehutanan
untuk diverifikasi. Kadishut meminta stafnya melakukan verifikasi dan membuat
laporan tertulis kepada dinas.
Proses ini belum selesai sampai disitu, masih ada
alur panjang yang harus dilewati. Dapat dibayangkan betapa melelahkan
perjuangan masyarakat desa untuk memperjuangkan hak mereka untuk dapat
mengelola hutan guna keberlangsungan hidup mereka. Kalau saja ada layanan satu
atap khusus mengurusi proses pengajuan HD, mungkin alur birokrasi yang ada saat
ini dapat dipersingkat.
Strategi ini telah dilakukan oleh Provinsi Sumatera
Barat dapat diacungkan jempol. Target pencadangan PHBM dari pemerintah pusat
ditangkap sebagai isu starategis oleh pemerintah Sumatera Barat. Dengan
beraninya provinsi ini menargetkan perluasan Hutan Nagari atu Hutan Desa
sejumlah 250.000 hektar menjelang tahun 2015. Untuk merealisasikan hal
tersebut, SKPD terkait bekerja sama membuat roadmap perluasan Hutan Nagari di
wilaya Sumatera Barat. Road map ini telah disosialisaikan secara intensif
ditingkat Pemerintah Kabupaten, provinsi hingga ke tingkat nasional. Selain
dari itu untuk memotong dan mempersingkat alur birokrasi yang panjang, Provinsi
Sumbar dengan membentuk Pokja PHBM yang melibatkan beberapa SKPD terkait di
dalamnya untuk melayani pengusulan Hutan Nagari. Dapat dipastikan, melalui
pelayanan satu pintu, usulan masyarakat untuk pengajuan Hutan Nagai menjadi
sangat singkat dan cepat, sehingga kurang dari 1 tahun Provinsi Sumatera Barat
telah menggoalkan 2 usulan hutan
nagari (Jorong Simancung dan Simanau) hingga memperoleh izin RKHD dari Kemenhut seluas 1.738 hektare.
Merefleksi keberhasilan Sumatere Barat dengan
Provinsi Jambi, Yul Qori, projek koordinator KKI WARSI menambahkan bahwa proses
yang melelahkan ini tidak hanya dikarenakan proses birokrasi yang panjang,
karna proses usulan secara jelas telah diatur pada Permenhut 49/2008 dan diperpendek melalui revisi
Permenhut 53/2011. Hal yang prinsipil
adalah ditingkat daerah pengetahuan dan pemahaman SKPD terkait tentang HD masih
sangat minim. Target pencapaian HD nasional tidak disosialisikan dan
dikoordinasikan ke daerah, sehingga Dishut kabupaten, Bappeda dan SKPD terkait
tidak merasa bertanggung jawab untuk mendukung pencapain target nasioanal. Qory
menambahkan, di level daerah belum ada perangkat resmi berupa institusi khusus
yang melayani proses izin HD, sehingga dapat dipastikan institusi berjalan
sendiri-sendiri dengan ketentuan yang berbeda.
Fakta di lapangan menunjukkan alasan klasik
kurangnya sumber daya (manusia dan finansial) sering kali dijadikan tameng
mengapa pemerintah daerah tidak menyediaan dukungan. Hal yang sama diungkapkan
oleh Iman Budisetiawan, Kasubid Evaluasi dan Pengendalian, Bappeda Kabupaten
Muara Bungo, dalam wawancara singkat mengatakan bahwa “Bappeda tidak mempunyai
anggaran untuk mengawal proses pengajuan usulan HD oleh masyarakat desa, saat
ini pendaanaan lebih difokuskan pada pembangunan Bandara, rumah sakit, jalan
dan infrastruktur lainnya.
Robert CD Kaban, Kasubid pengembangan Hutan Desa
menegaskan bahwa tidak beralasan bahwa pemerintah tidak meyediakan anggaran
untuk pengembahan hutan kemayarakatan. Tahun 2011 pemerintah telah
mengalokasikan sekitar Rp 19 milyar untuk rencana kegiatan terkait dengan hutan
desa yang terdapat di 24 privinsi di 26 wilayah kerja BPDAS. Adapun jenis
kegiatan yang diusulkan adalah fasilitasi penetapan areal kerja hutan desa
seluas 104.400 ha, pelatihan Hutan Desa melibatkan 280 orang dan fasilitasi
kemitraan usaha hutan desa 2 unit.
Selain dari dukungan APBN, pada Permenhut 49/2008 pasal 47 dijelaskan bahwa penyelenggaraaan
pemberdayaan masyarakat melalui HD dibebankan kepada APBN, APBD dan
sumber-sumber lain yang tidak mengikat. Dapat dikatakan bahwa anggaran untuk
menggawangi Hutan Desa itu wajib disediakan oleh pemerintah daerah dari
APBD, namun karena tidak tersosiliasi
dan dikomunikasikan antar instansi pemerintah, maka tidak dialokasikan.
Pemberdayaan masyarakat.
Program hutan masyarakat tidak diikuti dengan kesiapan perangkat
pemerintahan khususnya di tingkat kabupaten dan provinsi. Fakta di lapangan
menunjukkan bahwa capaian Hutan Desa dibeberapa provinsi di Indonesia cendrung
berkembang pada lokasi yang difasilitasi oleh LSM. Pertanyaannya mengapa? Tentu
menjadi hal terpenting untuk digali. Adi Junaidi, Fasilitator penggiat Hutan
Desa menegaskan bahwa “Jika dibaca secara detail pada Permenthut 49/2008
tentang pengajuan Hutan Desa, cenderung copy paste dari tata cara pengajuan Hutan
Tanaman Industri (HTI), semua proses dilakukan sendiri oleh si pengaju. Hal
pembeda hanya ada pasal fasilitasi dan sumber pendanaan. Dapat dikatakan bahwa
masyarakat yang hidup di sekitar hutan belum punya sumber daya (financial dan
personel) yang kuat untuk secara mandiri melakukan survey, pengkajian,
pemetaan, pembentukan peraturan desa hingga memformulasikan rencana pengelolaan
hutan desa. Sehingga program pemberdayaan dianggap wajib dilakukan sehingga
masyarakat secara mandiri mengajukan proses permohonan Hutan Desa kepada
pemerintah.
Tak dipungkiri oleh Iman Budisetiawan, Bappeda
Kabupaten Muara Bungo, Provinsi Jambi, bahwa bentuk fasilitasi yang pemerintah
hanya sebatas melakukan mendorong proses legalitas dan check list administarsi,
bukan proses awal di tatanan masyarakat desa. Mengacu kembali ditulis dalam
Permenhut 49/2008, semua proses diinisiasi oleh pengaju hutan desa yakni
masyarakat, sehingga tentu saja semua tahapan di tingkat desa dilakukan sendiri
oleh masyarakat. Terkait bentuk fasilitasi yang bisa disiapkan Bappeda di tahun
2013, Iman menambahkan, “kami akan mengarahkan bantuan sosial dan proyek
pembangunan lainnya ke lokasi Hutan Desa yang telah mendapatkan SK dari
Kemenhut”.
Program pemberdayaan masyarakat dari pemerintah daerah, seperti pelatihan,
bimbingan dan binaan kepada masyarakat desa kurang berjalan maksimal
dikarenakan sumber daya manusia belum kuat. Tidak banyak personel dari
pemerintah daerah dan provinsi yang paham betul mengenai skema dan proses
pengajuan HD. Sehingga proses pemberdayaan semestinya tidak hanya untuk
masyarakat tapi juga sektor pemerintah. Penyediaan program pemberdayaan
masyarakat yang merupakan tanggung jawab pemerintah juga terbentur oleh
alokasi anggaran yang minim, anggaran pemerintah kabupaten dan provinsi
lebih pro pada program pembangunan fisik, sedangkan program pemberdayaan
masyarakat tidak masuk dalam strategi prioritas dalam anggaran.
Selain daripada itu, peranan BP DAS selaku leading
sector PHBM, pada kenyataanya masih bersifat swa kelola dan tidak bersosialisi
aktif menggandeng SKPD terkait untuk bersama-sama bekerjasama untuk memenuhi
target nasioanal. Sehingga rencana pengelolaan PHBM cenderung berjalan
sendiri-sendiri tanpa ada sinergitas dengan system pembangunan daereh.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Berangkat dari paparan di muka, program PHBM yang dicanangkan oleh
pemerintah pada dasarnya adalah program strategis memberikan kesempatan luas
kepada masyarakat untuk mengelola sumber daya alam secara lestari sekaligus
mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Pencapaian target
PHBM nasional diharapkan juga memberikan kontribusi positif pengurangan emisi
dari deforestasi dan degragsi hutan sehinggat target penurunan emisi sejumlah
26% dan 41% dapat tercapai.
Namun dalam praktiknya masih ada hal yang patut dibenahi dalam usaha
pemenuhan tujuan besar di atas. Salah satunya mempersiapkan layanan resmi untuk
kepengurusan hutan desa untuk mempersingkat dan membercepat proses birokrasi
pengusulan HD di tingkat kabupaten dan provinsi. Seperti yang dilakukan oleh
Provinsi Sumatera Barat, pendirian Pokja PHBM merupakan cara yang efektif untuk
menyederhanakan proses usulan, di mana layanan satu pintu ini melibatkan SKPD
terkait. Di dalamnya adalah Dinas Kehutanan, Bappeda, Biro Hukum dan BP DAS
sendiri. Dengan adanya integritas atas unit
pemerintahan, proses yang rumit pun menjadi lebih terkelola dan ringkas.
Kedua, untuk pemenuhan target nasional diperlukan strategi dan rencana
aksi dari pemerintah provinsi dan kabupaten untuk mengejawantahkannya dalam
bentuk roadmap provinsi. Sehingga area yang akan dicadangkan untuk PHBM telah
terpetakan dengan jelas. Tidak itu saja, dengan adanya roadmap yang jelas maka area
pencadangan yang dimaksud akan tercantum dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka
Menengah), sehingga masalah anggaran dan sumberdaya manusia untuk menggiring
proses pengajuan HD secara sistematis bisa teratasi. SKPD terkait akan
mengalokasikan personilnya untuk memfasilitasi proses awal pengajuan HD,
selanjutnya penyuluh pertanian juga dimaksimalkan tugasnya untuk memberikan
bimbingan teknis dibidang pertanian, perikanan dan kehutanan.
Ketiga, perlu adanya program pemberdayaan masyarakat yang intensif dan
berkelanjutan. Program asistensi dan fasilitasi LSM penggiat HD bisa berakhir
kapan saja tergantung pada support financial dari donor. Juga kapasitas
sumberdaya manusia dari pemerintah sangat terbatas untuk terus menggawangi
proses dan pasca perizinan hutan desa tetap berlaku sampai 35 tahun mendatang. Maka PHBM dianggap pra kondisi yang penting
harus dijalankan untuk meningkatkan kemandirian masyarakat.
Yang paling terpenting dari hal di atas adalah adanya good will dari pucuk pemerintah daerah.
Pemimpin yang pro masyarakat akan serta merta menangkap momen ini dan
menggerakkan semua unit pelayanan teknis teknis (UPT) yang ada, seperti BP DAS,
BPKH (Badan Pemandatan Kawasan Hutan), BP2HP (Balai Pemantauan dan Pengelolaan
Hutan Produksi) untuk menjalankan fungsinya sehingga selain mencapat target
hutan kemasyarakatan juga menjamin pengelolaan hutan yang lestari.
Beberapa rekomendasi di atas, dipandang sangatlah strategis untuk
pemenuhan tujuan nasioanal di bidang perhutanan sosial yang sejauh ini dalam
pelaksanaanya masih sangat minim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar