Selasa, 12 Februari 2013

Kerikil Tajam Mendapatkan Hak Kelola Masyarakat Melalui Skema Hutan Desa




Pengelolaan hutan  berbasis masyarakat merupakan terobosan inisiatif perberdayaan masyarakat yang dikemukakan sejak diselenggarakanya Kongres Kehutanan Dunia VIII di Jakarta (1978) dengan tema Forest for People.  Model ini dipandang sebagai alternatif strategis dalam upaya pengentasan berbagai masalah kehutanan seperti kemiskinan masyarakat di sekitar hutan, kerusakan sumber daya hutan dan meredam konflik tenurial. Ada tiga model yang dikembangkan pada konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat, yakni Hutan kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD) dan Hutan Tanaman Rakyat(HTR). Perkemabangan Hutan Desa dibeberapa provinsi di Indonesia sudah mulai menggeliat tumbuh. Hutan desa adalah hutan hutan lindung dan hutan produksi yang belum dibebani hak pengelolaan atau izin pemanfaatan yang berada dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan.

Berdasarkan Rencana Strategis (Renstra) Kemenhut 2010- 2014, strategi dan pembangunan kehutanan nasioanal diarahkan kepada hutan lestari untuk kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan. Guna mewujudkan visi tersebut maka Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Zilkifli Hasan mengungkapkan akan menfasilitasi pengelolaan dan penetapan areal kerja hutan desa seluar 500.000 ha. Dengan capaian target yang besar ini diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Artinya dengan mengelola hutan diharapkan ada kesempatan masyarakat untuk mencari nafkah, bekerja menanam dan mengelola hutan sehingga tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan dapat bersinergis.  Inisiatif peningkatan areal kerja Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masyarakat (PHBM) ini sekaligus sinergis dengan upaya penurunan tingkat deforestasi dan degradasi hutan guna mencapai target reduksi emisi 26% dan 41%. 

Sejauh ini, target 500,000 hektare Hutan Desa belum pernah mencapai target. Data Kementerian Kehutanan yang telah diolah oleh kemitraan menyebutkan bahwa sampai dengan tahun 2010, luasan calon areal HD yang telah diverifikasi baru mencapai  119.757 ha. Sementara areal HD yang sudah ditetapkan oleh mentri kehutanan baru 14.346 ha. Rendahnya target capaian ini tidak terlepas dari faktor birokrasi pengajuan izin yang menghadapi jalan panjang dan berliku juga minimnya fasilitas teknis dari pemerintah daerah.

Birokrasi panjang dan melelahkan.

Target capaian PHBM Kemenhut masih bersifat sektoral dimana BP DAS menjadi leading sector untuk memenuhi capaian ini. Bagaimanapun juga, target perhutanan sosial tidak diiringi dengan kesiapan perangkat dan institusi pemerintah daerah, provinsi dan nasional, serta dukungan keuangan antar SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) terkait dan pemberdayaan personil pemerintah dan masyarakat.

Hal senada juga diungkapkan oleh lembaga non pemerintahan penggiat Hutan Desa di berbagai provinsi di Indonesia yang mengeluhkan mulai dari survey, riset, hingga lokakarya desa semuanya dilakukan bersama-sama masyarakat setempat, tanpa ada fasilitas dari pemerintah daerah. Kasus perkembangan HD di Provinsi Jambi menghadapi hal serupa,  dikatakan  sejumlah 25 desa yang telah mendapatkan SK RKHD (Areal kerja hutan desa) dari Kemenhut tersebar 3 kabupaten seluas  54.987 hektare adalah atas inisiasi LSM lokal.  Ditambahkan lagi, proses pengajuan dari awal hingga mendapatkan SK RKHD dari Kemenhut melalui proses yang panjang hingga mencapai 2 tahun. Pengusulan berkas HD di tingkat Nasional juga mengalami polemik yang tidak kalah sengitnya. Diperkirakan proses usulan di tingkat nasional harus melalui 23 meja. Laporan kemitraan menjelaskan bahwa jika perjalanan berkas pengajuan HD berjalan normal, maka proses penetapan paling cepat 180 hari itupun karena ada hal-hal khusus, misalnya peluncuran program HD (kasus HD Lubuk Beringin) dan paling lama 1080 hari (kasus di Merangin, Jambi). Proses tidak hanya berhenti sampai di mendapat SK dari kementrian, 24 hutan desa di Jambi masih menunggu kepastian dari gubernur untuk mendapatkan SK HPHD (Hak Pengelolaan Hutan Desa). Sangat ironis memang, apa yang ditargetkan dalam pelaksanaanya masih jauh panggang dari api.

Pengalaman dalam menginisiasi pengusulan HD dari beberapa provinsi mengemukakan bahwa Target perhutanan sosial dari Kemenhut tidak diikuti dengan persiapan perangkat dan institusi pemerintah di daerah. Lemahnya koordinasi dan pemahaman konsep hutan desa dikalangan pemerintah daerah mengakibatkan jalur proses usulan HD harus memewati beberapa meja. Berdasarkan alur proses pengusulan areal hutan desa, berkas pengajuan harus lah dikoordinasi melalui Dinas Kehutanan kabupaten dan provinsi, selanjutnya dilayangkan ke Bupati, Bupati mendelegasikan ke Asisten II dan dilimpahkan ke Biro Hukum Sumber Daya Alam (SDA). Oleh biro hukum, berkas dikembalikan ke Dinas Kehutanan untuk diverifikasi. Kadishut meminta stafnya melakukan verifikasi dan membuat laporan tertulis kepada dinas.

Proses ini belum selesai sampai disitu, masih ada alur panjang yang harus dilewati. Dapat dibayangkan betapa melelahkan perjuangan masyarakat desa untuk memperjuangkan hak mereka untuk dapat mengelola hutan guna keberlangsungan hidup mereka. Kalau saja ada layanan satu atap khusus mengurusi proses pengajuan HD, mungkin alur birokrasi yang ada saat ini dapat dipersingkat.

Strategi ini telah dilakukan oleh Provinsi Sumatera Barat dapat diacungkan jempol. Target pencadangan PHBM dari pemerintah pusat ditangkap sebagai isu starategis oleh pemerintah Sumatera Barat. Dengan beraninya provinsi ini menargetkan perluasan Hutan Nagari atu Hutan Desa sejumlah 250.000 hektar menjelang tahun 2015. Untuk merealisasikan hal tersebut, SKPD terkait bekerja sama membuat roadmap perluasan Hutan Nagari di wilaya Sumatera Barat. Road map ini telah disosialisaikan secara intensif ditingkat Pemerintah Kabupaten, provinsi hingga ke tingkat nasional. Selain dari itu untuk memotong dan mempersingkat alur birokrasi yang panjang, Provinsi Sumbar dengan membentuk Pokja PHBM yang melibatkan beberapa SKPD terkait di dalamnya untuk melayani pengusulan Hutan Nagari. Dapat dipastikan, melalui pelayanan satu pintu, usulan masyarakat untuk pengajuan Hutan Nagai menjadi sangat singkat dan cepat, sehingga kurang dari 1 tahun Provinsi Sumatera Barat telah menggoalkan 2 usulan hutan nagari (Jorong Simancung dan Simanau) hingga memperoleh izin RKHD  dari Kemenhut seluas 1.738 hektare.

Merefleksi keberhasilan Sumatere Barat dengan Provinsi Jambi, Yul Qori, projek koordinator KKI WARSI menambahkan bahwa proses yang melelahkan ini tidak hanya dikarenakan proses birokrasi yang panjang, karna proses usulan secara jelas telah diatur pada Permenhut  49/2008 dan diperpendek melalui revisi Permenhut 53/2011.  Hal yang prinsipil adalah ditingkat daerah pengetahuan dan pemahaman SKPD terkait tentang HD masih sangat minim. Target pencapaian HD nasional tidak disosialisikan dan dikoordinasikan ke daerah, sehingga Dishut kabupaten, Bappeda dan SKPD terkait tidak merasa bertanggung jawab untuk mendukung pencapain target nasioanal. Qory menambahkan, di level daerah belum ada perangkat resmi berupa institusi khusus yang melayani proses izin HD, sehingga dapat dipastikan institusi berjalan sendiri-sendiri dengan ketentuan yang berbeda.

Fakta di lapangan menunjukkan alasan klasik kurangnya sumber daya (manusia dan finansial) sering kali dijadikan tameng mengapa pemerintah daerah tidak menyediaan dukungan. Hal yang sama diungkapkan oleh Iman Budisetiawan, Kasubid Evaluasi dan Pengendalian, Bappeda Kabupaten Muara Bungo, dalam wawancara singkat mengatakan bahwa “Bappeda tidak mempunyai anggaran untuk mengawal proses pengajuan usulan HD oleh masyarakat desa, saat ini pendaanaan lebih difokuskan pada pembangunan Bandara, rumah sakit, jalan dan infrastruktur lainnya.

Robert CD Kaban, Kasubid pengembangan Hutan Desa menegaskan bahwa tidak beralasan bahwa pemerintah tidak meyediakan anggaran untuk pengembahan hutan kemayarakatan. Tahun 2011 pemerintah telah mengalokasikan sekitar Rp 19 milyar untuk rencana kegiatan terkait dengan hutan desa yang terdapat di 24 privinsi di 26 wilayah kerja BPDAS. Adapun jenis kegiatan yang diusulkan adalah fasilitasi penetapan areal kerja hutan desa seluas 104.400 ha, pelatihan Hutan Desa melibatkan 280 orang dan fasilitasi kemitraan usaha hutan desa 2 unit.

Selain dari dukungan APBN, pada Permenhut 49/2008  pasal 47 dijelaskan bahwa penyelenggaraaan pemberdayaan masyarakat melalui HD dibebankan kepada APBN, APBD dan sumber-sumber lain yang tidak mengikat. Dapat dikatakan bahwa anggaran untuk menggawangi Hutan Desa itu wajib disediakan oleh pemerintah daerah dari APBD,  namun karena tidak tersosiliasi dan dikomunikasikan antar instansi pemerintah, maka tidak dialokasikan. 

Pemberdayaan masyarakat.

Program hutan masyarakat tidak diikuti dengan kesiapan perangkat pemerintahan khususnya di tingkat kabupaten dan provinsi. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa capaian Hutan Desa dibeberapa provinsi di Indonesia cendrung berkembang pada lokasi yang difasilitasi oleh LSM. Pertanyaannya mengapa? Tentu menjadi hal terpenting untuk digali. Adi Junaidi, Fasilitator penggiat Hutan Desa menegaskan bahwa “Jika dibaca secara detail pada Permenthut 49/2008 tentang pengajuan Hutan Desa, cenderung copy paste dari tata cara pengajuan Hutan Tanaman Industri (HTI), semua proses dilakukan sendiri oleh si pengaju. Hal pembeda hanya ada pasal fasilitasi dan sumber pendanaan. Dapat dikatakan bahwa masyarakat yang hidup di sekitar hutan belum punya sumber daya (financial dan personel) yang kuat untuk secara mandiri melakukan survey, pengkajian, pemetaan, pembentukan peraturan desa hingga memformulasikan rencana pengelolaan hutan desa. Sehingga program pemberdayaan dianggap wajib dilakukan sehingga masyarakat secara mandiri mengajukan proses permohonan Hutan Desa kepada pemerintah.

Tak dipungkiri oleh Iman Budisetiawan, Bappeda Kabupaten Muara Bungo, Provinsi Jambi, bahwa bentuk fasilitasi yang pemerintah hanya sebatas melakukan mendorong proses legalitas dan check list administarsi, bukan proses awal di tatanan masyarakat desa. Mengacu kembali ditulis dalam Permenhut 49/2008, semua proses diinisiasi oleh pengaju hutan desa yakni masyarakat, sehingga tentu saja semua tahapan di tingkat desa dilakukan sendiri oleh masyarakat. Terkait bentuk fasilitasi yang bisa disiapkan Bappeda di tahun 2013, Iman menambahkan, “kami akan mengarahkan bantuan sosial dan proyek pembangunan lainnya ke lokasi Hutan Desa yang telah mendapatkan SK dari Kemenhut”.

Program pemberdayaan masyarakat dari pemerintah daerah, seperti pelatihan, bimbingan dan binaan kepada masyarakat desa kurang berjalan maksimal dikarenakan sumber daya manusia belum kuat. Tidak banyak personel dari pemerintah daerah dan provinsi yang paham betul mengenai skema dan proses pengajuan HD. Sehingga proses pemberdayaan semestinya tidak hanya untuk masyarakat tapi juga sektor pemerintah. Penyediaan program pemberdayaan masyarakat yang merupakan tanggung jawab pemerintah juga terbentur  oleh  alokasi anggaran yang minim, anggaran pemerintah kabupaten dan provinsi lebih pro pada program pembangunan fisik, sedangkan program pemberdayaan masyarakat tidak masuk dalam strategi prioritas dalam anggaran.

Selain daripada itu, peranan BP DAS selaku leading sector PHBM, pada kenyataanya masih bersifat swa kelola dan tidak bersosialisi aktif menggandeng SKPD terkait untuk bersama-sama bekerjasama untuk memenuhi target nasioanal. Sehingga rencana pengelolaan PHBM cenderung berjalan sendiri-sendiri tanpa ada sinergitas dengan system pembangunan daereh.


Kesimpulan dan Rekomendasi

Berangkat dari paparan di muka, program PHBM yang dicanangkan oleh pemerintah pada dasarnya adalah program strategis memberikan kesempatan luas kepada masyarakat untuk mengelola sumber daya alam secara lestari sekaligus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Pencapaian target PHBM nasional diharapkan juga memberikan kontribusi positif pengurangan emisi dari deforestasi dan degragsi hutan sehinggat target penurunan emisi sejumlah 26% dan 41% dapat tercapai.

Namun dalam praktiknya masih ada hal yang patut dibenahi dalam usaha pemenuhan tujuan besar di atas. Salah satunya mempersiapkan layanan resmi untuk kepengurusan hutan desa untuk mempersingkat dan membercepat proses birokrasi pengusulan HD di tingkat kabupaten dan provinsi. Seperti yang dilakukan oleh Provinsi Sumatera Barat, pendirian Pokja PHBM merupakan cara yang efektif untuk menyederhanakan proses usulan, di mana layanan satu pintu ini melibatkan SKPD terkait. Di dalamnya adalah Dinas Kehutanan, Bappeda, Biro Hukum dan BP DAS sendiri. Dengan adanya integritas atas unit pemerintahan, proses yang rumit pun menjadi lebih terkelola dan ringkas.

Kedua, untuk pemenuhan target nasional diperlukan strategi dan rencana aksi dari pemerintah provinsi dan kabupaten untuk mengejawantahkannya dalam bentuk roadmap provinsi. Sehingga area yang akan dicadangkan untuk PHBM telah terpetakan dengan jelas. Tidak itu saja, dengan adanya roadmap yang jelas maka area pencadangan yang dimaksud akan tercantum dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah), sehingga masalah anggaran dan sumberdaya manusia untuk menggiring proses pengajuan HD secara sistematis bisa teratasi. SKPD terkait akan mengalokasikan personilnya untuk memfasilitasi proses awal pengajuan HD, selanjutnya penyuluh pertanian juga dimaksimalkan tugasnya untuk memberikan bimbingan teknis dibidang pertanian, perikanan dan kehutanan.

Ketiga, perlu adanya program pemberdayaan masyarakat yang intensif dan berkelanjutan. Program asistensi dan fasilitasi LSM penggiat HD bisa berakhir kapan saja tergantung pada support financial dari donor. Juga kapasitas sumberdaya manusia dari pemerintah sangat terbatas untuk terus menggawangi proses dan pasca perizinan hutan desa tetap berlaku sampai 35 tahun mendatang. Maka PHBM dianggap pra kondisi yang penting harus dijalankan untuk meningkatkan kemandirian masyarakat.

Yang paling terpenting dari hal di atas adalah adanya good will dari pucuk pemerintah daerah. Pemimpin yang pro masyarakat akan serta merta menangkap momen ini dan menggerakkan semua unit pelayanan teknis teknis (UPT) yang ada, seperti BP DAS, BPKH (Badan Pemandatan Kawasan Hutan), BP2HP (Balai Pemantauan dan Pengelolaan Hutan Produksi) untuk menjalankan fungsinya sehingga selain mencapat target hutan kemasyarakatan juga menjamin pengelolaan hutan yang lestari.

Beberapa rekomendasi di atas, dipandang sangatlah strategis untuk pemenuhan tujuan nasioanal di bidang perhutanan sosial yang sejauh ini dalam pelaksanaanya masih sangat minim.

Tidak ada komentar: