Senin, 11 Maret 2013

Stay alert on REDD+

Mari bersiap untuk REDD+.. !! implementasi  REDD+ di Indonesia sudah mulai mengarahkan hal-hal yang kongkrit, dimana pada fase persiapan REDD+ akan disinergiskan dengan rencana pembangunan nasional dan sub nasional. Hal ini sangat disadari bersama oleh seluruh negara di dunia pada CoP 18 di Qatar bulan Desember 2012 yang lalu, bahwa suksesnya REDD+ membutuhkan kebijakan nasional  dibanding hanya menunggu dan mengandalkan pasar karbon internasional yang masih belum menampakkan kejelasannya. 

Selanjutnya bagaimana kebijakan nasional mampu mengakomodir issu perubahan iklim, untuk mencapai target nasional pengurangan emisi 26% dan 41% dan juga pada saat bersamaan harus mampu mencapai pertumbuhan ekonomi 7% pada 2020?



Jawaban  ini adalah hal yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat Indonesia. Tidak dipungkiri bahwa target ini sangat bombastis untuk dapat diwujudkan hingga 7 tahun mendatang. Tapi, untuk saat sekarang mungkin tidak perlu berbicara tentang angka, namun bagaimana secara substantif pemerintah mampu bekerja untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan dan effektif. salah satunya adalah mensinergiskan pembangunan nasional dan daerah pada issue pembangunan rendah karbon dan green economi. Saat ini SATGAS UKP4, selaku agent persiapan REDD+ Nasional, sedang mengupayakan agar RTRWP (Rancangan tatar ruang wilayah provinsi) mampu mengakomodir dokument SRAP (Strategi dan Rencana aksi provinsi) dan RAD GRK (Rencana Aksi Daerah Gas Rumah Kaca) di 11 provinsi percontohan di Indonesia. Artinya, kedepan perencanaan pembangunan akan menyelarakan sektor ekonomi dan konservasi. 

Namun, tentu sinergitas pembangunan dengan REDD+ belum lah cukup untuk menjamin bahwa REDD+ dapat sukses dijalankan oleh Indonesia. REDD+ bukan lah berarti men-sterilkan hutan, dengan membiarkan nya tumbuh subur dan lebat sehingga harus menutup pintu masuk atau mengeluarkan masyarakat yang selama ini bergantung kehidupannya terhadap hutan. Oleh karena itu, pengelolaan hutan yang selama ini dilakukan masyarakat secara lestari harus mendapat pengakuan dari pemerintah. Selama ini pemerintah memberikan hak pengelolaan hutan kepada swasta dengan sangat royalnya, namun sangat minim kepada masyarakat. Bahkan pada prakteknya justru masyarakat yang diuber-uber dan dipenjarakan atas penyebab kehancuran hutan. Padahal kalau dilihat secara penuh berapa banyak masyarakat menghancurkan hutan dibanding apa yang dilakukan oleh korporasi. Masyarakat yang tinggal disekitar hutan selama bertahun-tahun dan bahkan sebelum Indonesia merdeka tidak akan merusak hutan sebagai sumber penghidupanya dimasa kini dan nanti. Mereka tahu pasti, pembabatan hutan secara exploitatif akan menyebabkan sawah mereka tidak akan terairi, bahkan mengakibatkan bencana bagi mereka. Oleh karena itu praktek pengelolaan hutan berdasarkan local wisdom telah lama dilakukan oleh masyarakat agar hutan lestari. Hal ini perlu dihargai oleh pemerintah dan projek REDD+ nantinya, dengan  memastikan bahwa mereka berhak mendapatkan kopensasi atas kerja kerasnya menjaga dan mengelola hutan secara lestari. 

Hal serupa juga didiskusikan pada pertemuan Asia REDD+ Working Group pada Januari 2013. Dimana negara-negara Asia yang terdiri dari perwakilan pemerintah dan organisasi mayarakat berbagi pengalaman implementasi REDD+ diberbagai negara di Asia. Beberapa rekomendasi dihasilkan bahwa 1. masyarakat pengelola hutan perlu diberikan wewenang mengelola dan menerima pembayaran (benefit sharing) atas usaha mereka mengelola hutan. 2. Masyarakat harus dilibatkan dalam penyusunan sistem pembagian manfaat (benefit sharing), untuk memastikan bahwa manfaat tersebut dapat dinikmati secara merata dan bermanfaat sesuai dengan kebutuhan lokal dan yang terakhir pemerintah harus menghargai usaha peranan masyarakat dalam menjaga dan mengelola hutan dengan memberikannya hak secara legal. 

Pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang mulai menggeliat di Indonesia memberikan peluang yang sangat besar bagi perhutanan Indonesia untuk mendapatkan manfaat ganda dari REDD+ bukan hanya sekedar karbon, namun juga peningkatan fungsi hidrologi dan ketersediaan air, pengurangan bahaya banjir, kontrol erosi, serta perlindungan biodiversity.

Selain dari pada itu, hal yang juga sama pentingnya adalah penyelarasan pembangunan dan proteksi sumber daya alam harus diseleraskan dengan pertumbuhan ekonomi berbasis non -lahan dan penyetaraan pembangunan hingga di pedesaan, meliputi pembangunan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur penunjang lainnya. 



Tidak ada komentar: