Senin, 16 Desember 2013

"Kamu dapat merah berapa??" Refleksi masa penerimaan lapor semester akhir

Aku berdiri bersama wali murid lainnya di halaman sekolah tersenyum bangga melihat anak ku “Keisha” yang meraih peringkat ke-2 pada penerimaan raport semester ganjil ini. Sebenarnya aku tidak begitu perduli rangking berapa yang dia dapatkan, selama dia menikmati proses belajar disekolah. Sehingga pada akhirnya akan berdampak pada tingkat pemahamannya dan nilai yang ditoreh pada raport semester.

Aku jadi ingat masa kecil ku ketika duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Menerima lapor adalah momok yang paling menakutkan bagiku. Sebenarnya dulu sih biasa saja. Namun ketika orang tua ku mengadopsi sistem “hukuman” untuk angka raport yang merah”. Aku menjadi paranoid ketakutan. Bagaimana tidak, untuk catur wulan (cawu) pertama, jika merah 1 orang tua ku akan menghadiahkan pukulan 10 kali. Boleh dipilih di tangan atau dikaki. Alat pukulnya pun bervariasi, tergantung apa yang tersedia disana, bisa ikat pinggang, rotan, atau sapu lidi. Cawu ke-2 jumlah pukulan pun ditingkatkan menjadi 15 kali per mata pelajaran yang tertulis tinta merah, dan yang paling ekstrem adalalah cawu ke-3 pukulan jadi meningkat menjadi 25 kali...!!

Diantara 4 bersaudara, daya tangkap ku tergolong yang paling lemah. Sudah berapa kali orang tua ku mencoba menyemangatiku untuk belajar yang tekun. Tak jarang dia memberi contoh untuk seperti kakak ku yang selalu mendapat peringkat 3 besar di sekolah, atau seperti adik ku yang sudah bisa membaca di kelas 1, sementara aku  belum merasa klik dengan apa yang kupelajari disekolah. Masa-masa penerimaan lapor pun tiba. Aku pulang menyembunyikan lapor ke bawah sudut rak pakaian yang paling dalam, untuk memastikan orang tua ku tidak akan membaca hasil akhirku. Jelas saja prakiraan ku salah, semua orang tahu, bahwa tanggal tersebut adalah tanggal penerimaan lapor. Malam ini setelah sholat magrib Bapak memanggil kami berempat.