Minggu, 07 April 2013

“Sudah ada SD yang mau terima Rayhan sekolah nggak…?”


Pertanyaan ini sontan membuatku geram. Sebenarnya aku sudah mengambil ancang-ancang melengos ketika berpapasan muka dengan kepala Sekolah TK Rayhan  tepat di pintu keluar kelas. Aku sudah malas berkomunikasi dengannya, sejak dia mulai mendiskredit kan anakku, dengan mengatakan bahwa Rayhan tidak cocok disekolahkan di TK yang dia pimpin, karna kelakuan Rayhan yang tidak disiplin di kelas. Bukan hanya sekali, dua kali ibu itu complain dengan Rayhan bahkan sudah sangat sering. Ibarat kata, kalau uang pendaftaran bisa dikembalikan mungkin akan dikembalikan agar Rayhan jangan bersekolah lagi di TK itu. Namun karena letak sekolah yang sangat dekat dengan kantor ku, kupertahankan saja Rayhan sekolah disana. Toh guru kelas tidak merasa keberatan dengan Rayhan. Mereka baik- baik saja dan sangat sabar menyikapi tingkah polah  jagoanku di kelas.

Pertanyaan kepala sekolah Rayhan kujawab dengan berat sambil masih menahan gemuruh dijantungku, “Sudah Bu…” dan aku segera berlalu.  Sampai saat ini aku masih tidak mengerti bagaimana peranan pengajar dalam mengembangkan intelektual peserta didik dikelas. Kecerdasan anak-anak lebih diukur pada nilai akademik. Anak-anak dituntut seperti robot, yang tenang, diam, tangan dilipat sambil mendengar celoteh guru di muka kelas. Ketika diminta menulis, murid menulis, diminta bernyanyi mereka bernyanyi dan lain sebagainya. Ketika anak-anak mulai sedikit menyimpang dari apa yang diharapkan, anak dianggap tidak disiplin, membantah dan nakal. Padahal belum tentu seperti itu. Anak-anak  perlu mengaktualkan dirinya dengan belajar dari alam dan lingkungan, sehingga saraf otak nya tumbuh maksimal dan daya imaginasi nya berjalan effektif.