Pertanyaan ini sontan membuatku geram. Sebenarnya aku sudah mengambil
ancang-ancang melengos ketika berpapasan muka dengan kepala Sekolah TK
Rayhan tepat di pintu keluar kelas. Aku
sudah malas berkomunikasi dengannya, sejak dia mulai mendiskredit kan anakku,
dengan mengatakan bahwa Rayhan tidak cocok disekolahkan di TK yang dia pimpin,
karna kelakuan Rayhan yang tidak disiplin di kelas. Bukan hanya sekali, dua
kali ibu itu complain dengan Rayhan
bahkan sudah sangat sering. Ibarat kata, kalau uang pendaftaran bisa
dikembalikan mungkin akan dikembalikan agar Rayhan jangan bersekolah lagi di TK
itu. Namun karena letak sekolah yang sangat dekat dengan kantor ku,
kupertahankan saja Rayhan sekolah disana. Toh guru kelas tidak merasa keberatan
dengan Rayhan. Mereka baik- baik saja dan sangat sabar menyikapi tingkah
polah jagoanku di kelas.
Pertanyaan kepala sekolah Rayhan kujawab dengan berat sambil masih menahan
gemuruh dijantungku, “Sudah Bu…” dan
aku segera berlalu. Sampai saat ini aku
masih tidak mengerti bagaimana peranan pengajar dalam mengembangkan intelektual peserta didik dikelas. Kecerdasan anak-anak lebih diukur pada nilai akademik. Anak-anak dituntut seperti robot, yang tenang, diam,
tangan dilipat sambil mendengar celoteh guru di muka kelas. Ketika diminta
menulis, murid menulis, diminta bernyanyi mereka bernyanyi dan lain sebagainya.
Ketika anak-anak mulai sedikit menyimpang dari apa yang diharapkan, anak dianggap
tidak disiplin, membantah dan nakal. Padahal belum tentu seperti itu. Anak-anak
perlu mengaktualkan dirinya dengan
belajar dari alam dan lingkungan, sehingga saraf otak nya tumbuh maksimal dan daya
imaginasi nya berjalan effektif.