Pertanyaan ini sontan membuatku geram. Sebenarnya aku sudah mengambil
ancang-ancang melengos ketika berpapasan muka dengan kepala Sekolah TK
Rayhan tepat di pintu keluar kelas. Aku
sudah malas berkomunikasi dengannya, sejak dia mulai mendiskredit kan anakku,
dengan mengatakan bahwa Rayhan tidak cocok disekolahkan di TK yang dia pimpin,
karna kelakuan Rayhan yang tidak disiplin di kelas. Bukan hanya sekali, dua
kali ibu itu complain dengan Rayhan
bahkan sudah sangat sering. Ibarat kata, kalau uang pendaftaran bisa
dikembalikan mungkin akan dikembalikan agar Rayhan jangan bersekolah lagi di TK
itu. Namun karena letak sekolah yang sangat dekat dengan kantor ku,
kupertahankan saja Rayhan sekolah disana. Toh guru kelas tidak merasa keberatan
dengan Rayhan. Mereka baik- baik saja dan sangat sabar menyikapi tingkah
polah jagoanku di kelas.
Pertanyaan kepala sekolah Rayhan kujawab dengan berat sambil masih menahan
gemuruh dijantungku, “Sudah Bu…” dan
aku segera berlalu. Sampai saat ini aku
masih tidak mengerti bagaimana peranan pengajar dalam mengembangkan intelektual peserta didik dikelas. Kecerdasan anak-anak lebih diukur pada nilai akademik. Anak-anak dituntut seperti robot, yang tenang, diam,
tangan dilipat sambil mendengar celoteh guru di muka kelas. Ketika diminta
menulis, murid menulis, diminta bernyanyi mereka bernyanyi dan lain sebagainya.
Ketika anak-anak mulai sedikit menyimpang dari apa yang diharapkan, anak dianggap
tidak disiplin, membantah dan nakal. Padahal belum tentu seperti itu. Anak-anak
perlu mengaktualkan dirinya dengan
belajar dari alam dan lingkungan, sehingga saraf otak nya tumbuh maksimal dan daya
imaginasi nya berjalan effektif.
Sayang nya, tenaga pendidik di
Indonesia masih belum jeli melihat paradigma psikologi perkembangan perserta
didik. Bahkan jalur pendidikan formal
pun selain SLB (Sekolah Luar Biasa) belum cukup ramah untuk anak-anak kebutuhan
khusus. Semua anak-anak berkebutuhan khusus selalu di kategorikan anak cacat
dan harus disekolahkan di SLB. Padahal tidak semuanya demikian, kita tidak akan
pernah tahu bagaimana masa depanya dikemudian hari, siapa tahu mereka bisa
menjagi seorang yang membanggakan dengan puluhan prestasi yang mengharumkan
bangsa.
Bagaimana pun juga anak-anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak Indonesia
yang berhak mendapat pendidikan yang layak sama seperti anak-anak normal
lainnya. Dan bukan hal yang tidak mungkin, jika ditopang dengan kegigihan dan
dorongan yang kuat dari orang-orang sekelilingnya, termasuk tenaga pengajar
maka anak-anak ini justru menjadi anak-anak yang berprestasi. Sudah banyak
sekali contoh anak yang dimasa kecilnya adalah anak autis namun menghasil kan
sebuah karya hingga ke manca negara. Dalam satu situs Kick Andy menyebutkan,
beberapa di antara mereka, yaitu Anjuan Julio (19 tahun) menyandang autis sejak
berusia 2,5 tahun. Berkat kegigihan orangtuanya, kini Anjuan tumbuh menjadi
remaja berprestasi khususnya dalam bidang musik. Pelajar Institut Musik Indonesia ini sangat mahir bermain gitar. Bahkan,
ia pernah tampil di sejumlah pagelaran musik di Indonesia. Penyandang
asperger syndrome, Antonius Tyaswidyono atau akrab dipanggil Tyas (19 tahun), Semasa
kecilnya mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan
teman-temannya. Namun, berkat dorongan sang Ibu, Tyas bisa bisa berkuliah di
Institut Teknologi Bandung dengan mengambil jurusan Aeronautika dan
Astronautika, Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara. Kini ia sedang duduk di
semester enam.
Di Jambi pun anak-anak kebutuhan khusus sudah banyak
menghasilkan prestasi yang gemilang, yakni Hera, remaja berusia 15 tahun ini
telah beberapa kali menjuari cabang olah raga
renang tingkat daerah/provinsi Jambi. Sementara teman –teman Hera yang
belajar di pusat terapi Autis sudah mulai menunjukkan bakat-bakat luar biasa,
seperti Moly, remaja berusia13 tahun ini
mampu menuangkan imaginasinya dalam bentuk lukisan dan gambar yang luar biasa,
Iman (8 thn) menekuni dunia menggambar,
mewarnai, dan saat ini mulai tertarik
merambah ke dunia programer (komputer). Rayhan, bocah 6 tahun mempunyai fantasi yang unik terhadap
permainan-permainan komputer online. Rayhan sudah mengenal komputer dan
memainkan mouse dengan lancar di usia 3 tahun. Sedangkan kemampuan Rayhan dalam bermaian game
online dimulai sejak berusia 4 tahun. Jaringan wifi dirumah membuatnya leluasa
mencari dan memainkan permainan game online, walau sampai saat ini dia belum
bisa membaca.
Kembali pada topik awal mencari SD yang cocok untuk Rayhan adalah sebuah
perjuangan tersendiri bagiku. Rata-rata
SD yang kumasuki mereka mensyaratkan untuk tes untuk masuk SD. Oh my
God, bagaimana pula anak SD
harus diwajibkan untuk bisa baca dan tulis. Dimasa pada masa aku bersekolah
dulu, huruf dan angka kukenal di bangku SD kelas 1. Masih ingat hal yang
pertama kubaca dibangku kelas 1 SD adalah INI BUDI, B – U – D – I. Hingga
berkembang ke ibu Budi, Wati kakak budi dan andi adik Budi. Bahkan kelas 3 SD aku baru bisa lancar
membaca. Kenyataan sekarang, memang sangat berbanding terbalik, siswa kelas 1 SD
sudah lancar membaca sehingga guru SD tidak perlu susah payah mengajarkannya.
Setumpuk bahan ajaran sudah siap dijejali keotak siswa. Belum lagi beban buku
bacaan segamreng dipikul setiap
harinya ke sekolah. Ahh... Melihatnya saja aku sudah letih.
Setelah keluar masuk sekolah, akhirnya kutemukan sekolah yang sesuai
untuk Rayhan. Saat ku temui kepala sekolahnya, si Ibu mendengar dengan seksama kondisi
anakku dan sudah beberapa tahun belakang ini, sekolah tersebut telah membuka
lebar-lebar peluang bagi anak-anak kebutuhan khusus di sekolahnya. Beliau
menyadari bahwa tugas seorang guru tidak hanya secara dunia mendapatkan gaji
atas apa yang dilakukannya kepada
pekerjaannya namun juga secara moral harus dipertanggung jawabkan dimata Allah
SWT. Alhamdulillah, Rayhan
mendapat sekolah dan tenaga pendidik yang tepat untuknya.
***
2 komentar:
Tulisan ini menarik
Posting Komentar